Senin, 29 Maret 2010

Mengucek mata itu berbahaya !!

Diposting oleh Diptarina Yasmeen di 18.27 0 komentar


Mengucek mata itu berbahaya !!

Saat mata terasa gatal, muncul niat untuk menguceknya. Dan, hampir semua orang pernah melakukannya, yang akan berakibat mata memerah dan terasa perih. Tahukah bahwa mengucek mata bisa melemahkan otot yang ada di mata?

Tidak heran jika setelah gesekan terhadap mata, mata menjadi merah dan perih. Bisa jadi hal tersebut disebabkan keasyikan mengucek mata hingga rasa gatalnya hilang. Dan, bagaimana jika tangan yang mengucek itu kotor?

“Mengucek mata, yoga dengan kepala di bawah, tidur dengan wajah menempel pada bantal atau berenang merupakan berbagai aktivitas yang bisa menyebabkan penekanan mata meningkat,” ujar Professor Charles McMonnies, dari UNSW School of Optometry and Vision Science, dalam jurnal yang telah dipublikasikan berjudul Optometry and Vision Science, seperti dikutip dari Science, Senin (10/8/2009).

Saat menyentuh mata, kelopak mata akan mengalami peningkatan tekanan. Cahaya lampu yang terlalu silau lebih sedikit memberikan tekanan dibandingkan dengan mengucek mata dengan keras yang bisa memberikan tekanan 3 sampai 5 kali lebih besar dari tekanan normal.

Pada kasus mengucek mata, terjadi efek kombinasi menutup mata dan kekuatan mengucek mata yang bisa meningkatkan tekanan lebih tinggi lagi. Mengucek dengan keras bisa meningkatkan tekanan hingga 10 kali lebih tinggi dibanding tekanan normal!

“Tekanan yang normal akan memberikan konsekuensi yang sedikit, tapi tekanan pada mata yang kuat dalam jangka waktu yang lama dan terjadi secara berulang bisa memberikan kontribusi pada kerusakan mata seperti glaukoma, lebih cepat terkena rabun jauh, conical kornea atau bisa juga menyebabkan kebutaan,” ujar Professor Charles McMonnies.

Menghindari kontak mata dengan bantal atau masker tidur juga bisa membantu mengurangi tekanan sensitif pada mata. Saat mengucek mata juga bisa melemahkan otot levator palpebra yang berfungsi mengangkat kelopak mata, sehingga jika mengucek mata akan membuat mata terlihat lebih kecil atau seperti mata mengantuk.

Tekanan mata yang normal terjadi saat menutup mata, berkedip dan saat menarik nafas dalam tidak akan memberikan konsekuensi karena tekanan yang diberikan sangat kecil dan tidak dalam waktu yang lama.

Untuk itu sebaiknya hindarilah beberapa aktivitas seperti berikut:

* Tidur dengan wajah tertunduk dan kontak dengan bantal, karena dalam bantal tersebut bisa saja terdapat kutu atau debu yang bisa membuat mata iritasi.
* Mengucek mata, karena bisa membuat mata iritasi, kering dan membuat mata perih.
* Menunduk bisa meningkatkan tekanan, karena itu sebaiknya jika membaca dalam posisi duduk.

Menyeka air mata adalah kegiatan yang paling baik dengan menghapus dari ujung mata dan meminimalkan kontak dengan kelopak mata. Dan, gunakan obat tetes mata jika terasa gatal dan perih.

Hindari mengucek mata sebisa mungkin! Jika terasa gatal, gunakan tisiu dan usapkan secara lembut guna menghindari kontak yang berlebihan. Langkah paling bijaksana jika mata terasa perih, periksakan ke dokter mata.

Rabu, 17 Maret 2010

Mengemas Kerumunan di Kota Tua

Diposting oleh Diptarina Yasmeen di 17.50 0 komentar


Mengemas Kerumunan di Kota Tua


Pradaningrum Mijarto
Beginilah suasana uji coba Wisata Malam. Pemandangan ini terjadi di malam Imlek tahun ini. Meski di Taman Fatahillah dan Kalibesar orang banyak berkerumun, kebanyakan pelajar, namun bisnis kuliner yang bukan PKL cuma jadi tontonan.
Jumat, 5 Maret 2010 | 09:53 WIB
KOMPAS.com — "Kayak Taman Ria, ya," celetuk beberapa orang melihat kerumunan di seputaran Taman Fatahillah hingga ke Kalibesar. Yang lain tak sepenuhnya mengungkapkan dengan kata yang persis sama. Namun intinya, keramaian orang yang mengepung Taman Fatahillah hingga Kalibesar, apalagi di malam hari, belakangan ini memang makin meningkat. Bagi sebagian orang, katakan saja pedagang kaki lima, ojek sepeda yang kian beragam—tak lagi khusus sepeda ontel—keramaian itu tentu saja merupakan potensi. Pengunjung inilah yang diharapkan akan membuang uang untuk menyewa sepeda, minum, makan, dan lain-lain.

Namun, apakah keramaian yang seperti itu yang diharapkan dalam rangka revitalisasi Kota Tua Jakarta? Sebuah keramaian yang tak jelas arahnya? Kerumunan orang yang datang sekadar datang dan bikin penuh kawasan itu? Tentu saja tidak karena, jika demikian, maka upaya menjadikan kawasan tersebut sebagai kekuatan ekonomi kreatif akan jadi angan-angan belaka.

Mana ada yang tertarik jika melihat kondisi kawasan tersebut sekarang ini. Tengok saja upaya menggelar Wisata Malam di sana, yang sudah sejak tahun lalu diembuskan oleh Wali Kota Jakarta Barat Djoko Ramadhan bersama Robert Tambunan, pengelola bangunan tua milik Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI). Bangunan berjuluk "Toko Merah", "Kerta Niaga", dan "Cipta Niaga” adalah sedikit dari bangunan beken milik PPI yang ada di bawah Menteri Negara BUMN itu.

Uji coba menggelar wisata kuliner di sepanjang Jalan Pintu Besar Utara berdurasi 24 jam tak menyiratkan tanda yang baik. Pasalnya, kerumunan di kawasan tersebut lebih banyak pelajar yang isi koceknya terbatas. Kerumunan orang yang tumpah di kawasan itu tak datang untuk sesuatu yang sudah ajeg, misalnya untuk menikmati makan malam atau menghabiskan malam di Kafe Batavia dan Kafe Gazebo di Jalan Kunir, atau misalnya menyerbu sebuah kegiatan yang sudah terjadwal. Tak hanya di seputaran Taman Fatahillah, tentunya, tapi kegiatan dan keberadaan kafe—dengan harga terjangkau dan makanan khas—yang menyebar hingga ke Jembatan Kota Intan, misalnya.

Saya hanya ingin mengingatkan, lebih ke utara dari Jembatan Kota Intan sebenarnya sudah ada pelopor yang mencoba menghidupkan kawasan dekat Pelabuhan Sunda Kelapa. Kafe Galangan namanya (siapa tahu ada yang sudah lupa). Kafe ini akhirnya tak kuat menahan beban produksi karena keramaian tak mencapai kawasan tersebut.

Kembali ke upaya menggelar Wisata Malam di kawasan Taman Fatahillah, Robert Tambunan belum-belum sudah bersuara berat, "Siapa yang mau beli makanan di Wisata Malam kalau yang datang cuma pelajar yang tidak terarah tujuannya." Mungkin, hal itu terjadi karena penataan di kawasan tersebut bersifat parsial, tidak menyeluruh. Dari kegiatan yang terjadwal, kegiatan yang tak berpusat pada Taman Fatahillah, akses jalan, lahan parkir, kebersihan, dan WC umum tak ditata dalam satu perencanaan.

Keberadaan khalayak pelajar atau anak muda yang hanya ingin bermain di sana bukan sebuah kesalahan. Pasalnya, di mana lagi ada taman seterbuka, seluas, dan sekeren di Kalibesar dan Fatahillah. Kerumunan itu hanya perlu diarahkan. Tentu dengan berbagai kegiatan yang jelas, semisal kegiatan wisata jalan-jalan, wisata kuliner, pergelaran kesenian, kebudayaan, pemutaran film kuno seperti mis-bar atau gerimis bubar, lomba foto, lomba lukis, penampilan seni kontemporer, apa pun.

Apalagi, kawasan Kota Tua yang masuk dalam Kelurahan Pinangsia Kecamatan Tamansari, termasuk Glodok, sebetulnya bisa menghasilkan pemasukan lebih dari Rp 11 miliar per tahun hanya dari PBB saja. Seperti kata Lurah Pinangsia, Sumanta, “Target PBB tahun lalu sekitar Rp 9,7 miliar. Realisasinya Rp 9,3 miliar, belum 100 persen. Karena masih banyak tunggakan,” ujarnya. Kenapa? karena banyak bangunan tua yang tak jelas kepemilikannya. Ada pula yang luas tanah dan bangunan tak sesuai antara fakta di lapangan dan yang tercantum dalam PBB.
Kompas.com

Populasi di Kawasan Kota Tua Turun Drastis

Diposting oleh Diptarina Yasmeen di 17.44 0 komentar


Populasi di Kawasan Kota Tua Turun Drastis


Pradaningrum Mijarto
Kalibesar pernah jadi urat nadi kehidupan di Batavia. Kini bangunan di kawasan itu lebih banyak yang kosong bahkan nyaris hancur. Kota Tua hanya jadi tempat perlintasan.
Selasa, 9 Maret 2010 | 10:37 WIB
KOMPAS.com - Siapa yang tak terpikat akan kenangan Jakarta tempo dulu? Baik saat masih bernama Batavia maupun saat sudah berubah nama menjadi Jakarta, sekitar tahun 1940-an. Jika Firman Lubis, sang dokter, menumpahkan kenangan soal penduduk Jakarta di tahun 1950, maka Bernard RG Dorléans berkisah tentang Jakarta sejak 1968. Doktor bidang geologi itu sudah menetap di Jakarta sejak tahun tersebut. Ketika itu, menurutnya, populasi Jakarta sudah mencapai empat juta penduduk.
Kota setengah desa ini, kata Dorléans, di masa itu sudah dihiasi Hotel Indonesia, toko serba ada Sarinah, dan gedung Nusantara yang belum kelar. Selain itu, ia juga berkomentar soal Jembatan Semanggi yang telantar. Sebuah persimpangan jalan moderen yang tak lazim bagi jalan dengan lalu lintas yang sedikit. Pasalnya, kala itu, Jembatan Semanggi membelah daerah yang tanpa penghuni sepanjang lima kilometer sebelum sampai ke kota satelit, Kebayoran Baru. Sementara itu, sebelum sampai ke Tanjungpriok, orang akan melewati rawa-rawa sepanjang empat kilometer. Areal persawahan juga masih hidup, demikian pula kebun-kebun milik warga Betawi di selatan Jakarta.
Dalam tulisan “Dari Kampung ke Pengembangan Pemukiman”, jebolan Universitas Sorbonne, Paris, ini juga memaparkan bahwa dalam kurun 1982 hingga 1994, ada sekitar 600 bangunan tinggi untuk perkantoran dan perumahan dibangun. Alhasil ribuan lahan dalam bentuk rawa, tanah kosong, sawah, kebun, hilang. Semua itu antara lain berganti hutan beton, jalan layang, lapangan golf, dan perumahan.
Maka kini jadilah kawasan seluas sekitar 6.800 km2 yang meliputi kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) sebuah kawasan yang sangat padat, macet, dan tingkat polusi tinggi. Lahan itu diisi 17 juta penduduk (1990) di mana 8,2 juta penduduk tinggal di Jakarta. Di kawasan tersebut, jumlah penduduk meningkat satu orang per menit. Sementara itu Jakarta, setiap tahun mendapat tambahan 300.000 – 400.000 orang dari daerah lain di Indonesia.
Dalam penelitian, ia memperkirakan tahun 2010 jumlah penduduk Jakarta 11,5 juta dan 18,5 juta di Bodetabek. Pada 2015 jumlah populasi Jabodetabek mencapai 32 juta orang dan pada 2025 jumlah populasi Jabodetabek mencapai 40 juta orang dengan 13 juta orang di Jakarta dan 27 juta orang di Bodetabek.
Batas-batas wilayah administrasi Jabodetabek pun berubah. Luas DKI Jakarta meningkat dari 574 km2 (1971) ke 657 km2 di tahun 1980, dan 661 km2 di tahun 1990. Dari lima wilayah di DKI Jakarta, luas Jakarta Utara meningkat 50 persen sedangkan Jakarta Barat turun meski tak terlalu signifikan, Jakarta Pusat turun 20 persen, Jakarta Timur dan Selatan naik 22 persen dan 15 persen.
Dari hasil penelitian Dorléans terhadap pertumbuhan populasi, terlihat bahwa Jakarta sebenarnya kalah dari Bodetabek. Penurunan tajam terjadi di Jakarta Pusat selama kurun waktu 20 tahun, yaitu 200.000 orang. Ini juga terjadi di Jakarta Utara dan Barat yang wilayahnya masuk dalam kawasan Kota Tua Jakarta.
Hasil penelitian “Urban and Regional Development Institute” – Lembaga Komunikasi Pengembangan Perkotaan dan Daerah – memperlihatkan jumlah penduduk di kawasan Kota Tua (jumlah penduduk di Jakarta Barat dan Utara yang masuk dalam kawasan Kota Tua) pada tahun 2001 adalah 804.412 orang, setahun kemudian turun menjadi 721.724 orang, dan pada tahun 2006 turun drastis menjadi hanya 196.987 orang. Kawasan ini ditinggalkan penduduknya.
Penyebabnya ada banyak. Satu hal yang pasti, sejarah kemunduran Batavia berulang. Batavia ditinggalkan penduduknya, yang kemudian pindah ke kota baru di kawasan Weltevreden (Gambir, Monas – kini kawasan itu masuk dalam wilayah Jakarta Pusat), karena kondisi kota yang jorok, biang penyakit. Batavia, kini jadi Kota Tua, juga ditinggalkan penduduknya antara lain karena tak nyaman, tak aman, kumuh, kehidupan hanya berlaku bagi segelintir orang, sarana dan prasarana yang tak layak, dan kemacetan bertambah parah.
Kompas.com

Jumat, 05 Maret 2010

BUMN Review Kepemilikan Saham Indocooper di Freeport

Diposting oleh Diptarina Yasmeen di 17.21 0 komentar


BUMN Review Kepemilikan Saham Indocooper di Freeport
Kamis, 4 Maret 2010 - 13:49 wib
Wilda Asmarini - Okezone
JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian BUMN masih akan me-review rencana pembelian kepemilikan saham PT Indocooper Investama sebesar 9,36 persen atas PT Freeport Indonesia.

"Sampai saat ini belum ada rencana pembelian saham tersebut," ujar Deputi Kementerian BUMN bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, Energi, dan Telekomunikasi Sahala Lumban Gaol, usai seminar tambang Mineral Freeport untuk Sebesar-besar Kemakmuran Rakyat, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (4/3/2010).

Namun, menurut Pahala, kalau ada potensi BUMN untuk membeli saham tersebut pihaknya akan me-review terlebih dahulu dengan melakukan analisa. "Tapi sampai sekarang kita belum menganalisanya," ungkapnya.

Saham tersebut yang dimiliki pemerintah Indonesia di PT Freeport Indonesia menurut Sahala itu sudah bernilai besar. Tapi sayangnya Sahala mengaku tidak mengetahui jumlah pastinya. "Saya lupa nilainya, dan saya tidak membawa datanya," tukasnya.

Kendati demikian, dia menyebutkan dividen kas negara dari saham pemerintah di Freeport Indonesia pada 2008 sebesar USD0,05 miliar. Angka ini turun dari 2007 yang mencapai USD0,22 miliar. "Kalau 2009 saya belum tahu," ucapnya.

Perlu diketahui, saham pemerintah Indonesia di Freeport Indonesia sebesar 9,36 persen, Indocooper Investama 9,36 persen, dan 81,28 persen lainnya merupakan milik Freeport-McMoran Copper and Gold Inc.(ade)

 

Berbagi Cerita . . . Copyright © 2009 Baby Shop is Designed by Ipietoon Sponsored by Emocutez